A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan
Sejak awal tahun 1980-an semakin diakuinya pengaruh keturunan
(genetik) terhadap perbedaan individu. Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian
perilaku genetik yang mendukung pentingnya pengaruh keturunan menunjukkan
tentang pentingnya pengaruh lingkungan. Perilaku kompleks yang menarik minat
para ahli psikologi (misalnya temperamen, kecerdasan dan kepribadian) mendapat
pengaruh yang sama kuatnya baik dari faktor-faktor lingkungan maupun keturunan
(genetik).
Aspek apa sajakah yang mempengaruhi faktor genetik? Menurut
Santrok (1992), banyak aspek yang dipengaruhi faktor genetik. Para ahli genetik
menaruh minat yang sangat besar untuk mengetahui dengan pasti tentang variasi
karakteristik yang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Kecerdasan dan
temperamen merupakan aspek-aspek yang paling banyak ditelaah dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh keturunan.
1.
Kecerdasan
Arthur Jensen (1969) mengemukakan pendapatnya bahwa kecerdasan itu
diwariskan (diturunkan). Ia juga mengemukakan bahwa lingkungan dan budaya hanya
mempunyai peranan minimal dalam kecerdasan. Dia telah melakukan beberapa
penelitian tentang kecerdasan, diantaranya ada yang membandingkan tentang anak
kembar yang berasal dari satu telur dan yang dari dua telur. Satu telur
memiliki genetik yang identik, karena itu kecerdasan (IQ) seharusnya sama.
Menurut Jensen bila pengaruh lingkungan lebih penting pada satu telur yang
dibesarkan pada dua lingkungan yang berbeda, seharusnya menunjukkan IQ yang
berbeda pula. Kajian terhadap hasil penelitian menunjukkan bahwa satu telur
yang dibesarkan pada dua lingkungan yang berbeda korelasi rata-rata IQ nya 82.
Dua saudara sekandung yang dipelihara dua lingkungan yang berbeda korelasi
rata-rata IQ nya 50.
Banyak ahli-ahli yang mengkritik
Jensen. Salah seorang diantaranya mengkritik tentang definisi kecerdasa itu
sendiri. Menurut Jensen IQ yang diukur dengan tes kecerdasan yang baku
merupakan indikator kecerdasan yang baik. Kritik dari ahli lain ialah bahwa tes
IQ hanya menyentuh sebagian kecil saja dari kecerdasan. Cara individu
memecahkan masalah sehari-hari, penyesuian dirinya terhadap lingkungan kerja
dan lingkungan social, merupakan aspek-aspek kecerdasan yang penting dan tidak
terukur oleh tes kecerdasan baku yang digunakan oleh Jensen. Kritik kedua
menyatakan bahwa kebanyakan penelitian tentang keturunan dan lingkungan tidak
mencakup lingkungn-lingkungan yang berbeda secara radikal. Karena itu tidaklah
mengherankan bahwa studi tentang genetik menunjukkan bahwa lingkungan mempunyai
pengaruh yang lemah terhadap kecerdasan.
Menurut Jensen pengaruh keturunan
terhadap kecerdasan sebesar 80 persen. Kecerdasan memang dipengaruhi oleh
keturunan tetapi kebanyakan ahli perkembangan menyatakan bahwa pengaruh itu sekitar
50 persen.
2. Temperamen
Temperamen
adalah gaya perilaku karakteristik individu dalam merespons. Ahli-ahli
perkembangan sangat tertarik mengenai temperamen bayi. Sebagian bayi sangat aktif
menggerak-gerakkan tangan, kaki dan mulutnya dengan keras, sebagian lagi lebih
tenang, sebagian anak menjelajahi lingkungannya dengan giat pada waktu yang
lama dan sebagian lagi tidak demikian. Sebagian bayi merespons orang lain
dengan hangat, sebagian lagi pasif dan acuh tidak acuh. Gaya-gaya perilaku
tersebut diatas menunjukkan temperamen seseorang.
Menurut
Thomas & Chess (1991) ada tiga tipe dasar temperamen yaitu mudah, sulit dan
lambat untuk dibangkitkan yaitu:
a.
Anak yang mudah umumnya mempunyai suasana hati yang positif dan
dengan cepat membentuk kebiasaan yang teratur, serta dengan mudah pula
menyesuiakan diri dengan pengalaman baru.
b.
Anak yang sulit cenderung untuk bereaksi secara negative serta
sering menangis dan lambat untuuk menerima pengalaman-pengalaman baru.
c.
Anak yang lambat untuk dibangkitkan mempunyai tingkat kegiatan
yang rendah, kadang-kadang negatif dan penyesuian diri yang rendah dengan
lingkungan atau pengalaman baru.
Beberapa ahli perkembangan termasuk Thomas & Chess,
berpendapat bahwa temperamen adalah karakteristik bayi yang baru lahir dan akan
dibentuk dan dimodifikasi oleh pengalaman-pengalaman anak pada masa-masa
berikutnya. Para peneliti menemukan bahwa indeks pengaruh lingkungan terhadap
temperamen sebesar 50-60 menunjukkan lemahnya pengaruh tersebut. Kekuatan
pengaruh ini biasanya menurun saat anak itu tumbuh menjadi lebih besar. Menetap
atau konsisten tidaknya temperamen bergantung kepada “kesesuaian” hubungan
antara anak dengan orang tuanya. Orang tua mempengaruhi anak, tetapi anak pun
mempengaruhi orang tua. Orang tua dapat menjauh dari anaknya yang sulit, atau
mereka dapat menegur dan menghukumnya, hal ini akan menjadikan anak yang sulit
menjadi lebih sulit lagi. Orang tua yang luwes dapat memberi pengaruh yang
menenangkan terhadap anak yang sulit atau akan tetap menunjukkan kasih sayang
walau anak menjauh atau keras kepala.
3. Interaksi Keturunan Lingkungan dan
Perkembangan
Keturunan dan lingkungan berjalan bersama atau bekerja sama dan
menghasilkan individu dengan kecerdasan, temperamen tinggi, berat badan dan
minat yang khas. Pengaruh genetik terhadap kecerdasan terjadi pada awal
perkembangan anak dan berlanjut terus sampai dewasa. Telah kita ketahui pula
bahwa dengan dibesarkan pada keluarga yang sama dapat terjadi perbedaan
kecerdasan secara individual dengan variasi yang kecil pada kepribadian dan
minat. Salah satu alasan yang mungkin terjadi karena keluarga mempunyai
penekanan yang sama kepada anak-anaknya berkenaan dengan perkembangan
kecerdasan yaitu dengan mendorong anak mencapai tingkat tertinggi. Mereka tidak
mengarahkan anak kearah minat dan kepribadian yang sama. Kebanyakan orang tua
menghendaki anaknya untuk mencapai tingkat keecerdasan diatas rata-rata.
Contoh: pubertas dan menopause bukanlah semata-mata hasil lingkungan, walaupun
pubertas dan menopause dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti
nutrisi, berat, obat-obatan, kesehatan, evolusi dasar dan program genetik.
Pengaruh keturunan pada pubertas dan menupause tidak dapat diabaikan.
B. Teori Perkembangan
1.
Teori
Jean Piaget
Tujuan teori
Piaget adalah untuk menjelaskan mekanisme dan proses perkembangan intelektual
sejak masa bayi dan kemudian masa kanak-kanak yang berkembang menjadi seorang
individu yang dapat bernalar dan berpikir menggunakan hipotesis-hipotesis.
Piaget menyimpulkan dari penelitiannya bahwa organisme bukanlah agen yang pasif
dalam perkembangan genetik. Perubahan genetik bukan peristiwa yang menuju
kelangsungan hidup suatu organisme melainkan adanya adaptasi terhadap
lingkungannya dan adanya interaksi antara organisme dan lingkungannya. Dalam
responnya organisme mengubah kondisi lngkungan, membangun struktur biologi tertentu
yang ia perlukan untuk tetap bisa mempertahankan hidupnya. Perkembangan
kognitif yang dikembangkan Piaget banyak dipengaruhi oleh pendidikan awal
Piaget dalam bidang biologi. Dari hasil penelitiannya dalam bidang biologi. Ia
sampai pada suatu keyakinan bahwa suatu organisme hidup dan lahir dengan dua
kecenderunngan yang fundamental, yaitu kecenderungan untuk beradaptasi dan
organisasi.
Untuk memahami proses-proses penataan dan adaptasi terdapat dua
konsep dasar, yaitu sebagai berikut:
a.
Skema
Istilah skema atau skemata yang diberikan oleh Piaget untuk dapat
menjelaskan mengapa seseorang memberikan respon terhadap suatu stimulus dan
untuk menjelaskan banyak hal yang berhubungan dengan ingatan. Skema adalah
struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri terhadap
lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual.
b.
Adaptasi terdiri atas proses yang saling mengisi antara asimilasi
dan akomodasi:
1)
Asimilasi
Asimilasi itu suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang
mengintegrasikan bahan-bahan persepsi atau stimulus ke dalam skema yan ada atau
tingkah laku yang ada. Asimilasi berlangsung setiap saat. Seseorang tidak hanya
memperoses satu stimulis saja, melainkan memproses banyak stimulus. Secara
teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi asimilasi
mempnagruhi pertumbuhan skemata. Dengan demikian asimilasi adalah bagian dari
proses kognitif, dengan proses itu individu secara kognitif megadaptsi diri
terhadap lingkungan dan menata lingkungan itu.
2)
Akomodasi
Akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan skemata baru atau
pengubahan skemata lama. Asimilasi dan akomodasi terjadi sama-sama saling
mengisi pada setiap individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Proses ini perlu untuk pertumbuhan dan perkembangann kognitif. Antara asimilasi
dan akomodasi harus ada keserasian dan disebut oleh Piaget adalah keseimbangan.
Untuk keperluan konseptualisasian pertumbuhan kognitif
/perkembangan intelektual, Piaget membagi perkembangan ini ke dalam 4 periode
yaitu:
a.
Periode Sensori motor (0-2,0 tahun)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks
bawaan tersebut. Periode sensorimotor
adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini
menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam
sub-tahapan:
1)
Sub-tahapan fase refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan
berhubungan terutama dengan refleks.
2)
Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat
bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3)
Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai
sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan
dan pemaknaan.
4)
Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular
sekunder, muncul dari usia sembilan sampai dua belas bulan, saat berkembangnya
kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu
yang
permanen walau kelihatannya berbeda kalau
dilihat dari sudut berbeda.
5)
Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai
delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru
untuk mencapai tujuan.
b.
Periode Pra operasional (2,0-7,0 tahun)
Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari
empat tahapan. Dengan mengamati urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa
setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran praoperasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan
tindakan secara mental terhadap objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah
operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini,
anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek
dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris: anak
kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan
objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah walau
bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda.
Menurut Piaget, tahapan pra-operasional
mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun.
Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda
dengan kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran
intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris,
yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal
tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan
dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami
perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat
imajinatif di saat ini dan menganggap setiap benda yang tidak hidup pun
memiliki perasaan.
c.
Periode konkret (7,0-11,0 tahun)
Tahapan ini adalah tahapan ketiga dari empat
tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan mempunyai ciri
berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama
tahapan ini adalah pengurutan kemampuan
untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya,
bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang
paling besar ke yang paling kecil. Klasifikasi
kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut
tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa
serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian
tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan
berperasaan).
Decentering anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu
permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi
menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir
kecil yang tinggi.
Reversibility anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda
dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan
cepat menentukan bahwa 4+4
sama
dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.
Konservasi memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah
benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek
atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi cangkir yang
seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas
lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi
cangkir lain.
Penghilangan sifat Egosentrisme—kemampuan untuk melihat sesuatu
dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara
yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan komik yang memperlihatkan Siti menyimpan
boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan
boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam
tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti akan tetap menganggap boneka
itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan
ke dalam laci oleh Ujang.
d.
Periode operasi formal (11,0-dewasa)
Tahap operasional formal adalah periode
terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak
dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik
kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat
memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala
sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada "gradasi
abu-abu" di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat
terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa
secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan
sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini,
sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan
tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Piaget mengemukakan bahwa ada 4 aspek yang besar yang ada
hubungnnya dengan perkembangan kognitif:
1) Pendewasaaan/kematangan,
merupakan pengembanagn dari susunan syaraf.
2) Pengalaman
fisis, anak harus mempunyai pengalaman dengan benda-benda dan stimulus-stimulus
dalam lingkungan tempat ia beraksi terhadap benda-benda itu.
3) Interaksi
sosial, adalah pertukaran ide antara individu dengan individu.
4) Keseimbangan,
adalah suatu system pengaturan sendiri yang bekerja untuk menyelesaikan peranan
pendewasaan, penglaman fisis, dan interksi sosial.
2.
Teori
Sigmund Freud
Menurut Sigmund Freud dalam
Yupi Supartini ( 2004 ), perkembangan psikososial
anak dibagi menjadi:
a.
Fase
Oral
Disebut
fase oral karena pada tahap ini anak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan dari
berbagai
pengalaman disekitar mulutnya . Fase ini berlangsung dari masa bayi sampai umur
1 tahun. Bila ibu berhasil memuaskan kebutuhan bayi dalam fase ini maka anak
tersebut akan merasa aman dan melangkah dengan mantap ke fase berikutnya . Bila
fase oral tidak terselesaikan dengan baik maka akan terbawa ke fase berikutnya.
Ketidaksiapan tersebut tampak pada perilaku anak yang tetap ingin bergantung,
dan menolak untuk mandiri. Fiksasi fase oral yaitu merokok, makan permen,
mengunyah permen karet, mengigit pinsil, makan, mengeluarkan kata-kata yang
menyakitkan atau cerewet.
b.
Fase
anal
Fase ini berlangsung pada
masa 1-3 tahun, pada masa ini anak mulai meperlihatkan rasa ke aku-annya.
Sikapnya sangat egoistic. Ia pun mulai mengenal tubuhnya sendiri dan
mendapatkan kepuasan dari pengalaman auto-erotiknya. Sesuai dengan namanya fase
anal, salah satu tugas anak adalah latihan kebersihan atau disebut “ toilet
training”. Anak mengalami rasa puas saat bisa menahan maupun saat mengeluarkan
tinjanya. Bila orang tua tidak dapat mebantu anak untuk menyelesaikan tugas
latihan kebersihan dengan baik maka akan
terjadi berbagai kesulitan tingkah laku. Orang yang berkarakter anal adalah
orang yang secara berkesinambungan mendapatkan kepuasan erotiknya dengan cara
memegang dan memiliki benda2 dan dengan menyusunnya dalam tatanan yang sangat
teratur dan rapi. Triad anal yaitu keteraturan, kepelitan dan keras kepala.
c.
Fase
Oedipal/falik
Biasanya terjadi pada anak
usia 3-6 tahun. Anak mulai bisa merasakan dorongan seksualitas yang kemudian
ditujukan kepada orang tua dengan jenis kelamin yang berbeda. Perasaan ini
menimbulkan dorongan untuk bersaing dengan orang tua yang mempunyai jenis
kelamin sama dengannya, untuk meperebutkan perhatian orang tua yang lain. Dengan
demikian anak dapat merasakan rasa seksual yang berkembang ini dengan lebih
bebas. Namun demikian lama kelamaan anak akan sadar sendiri bahwa ia tidak
mungkin mengekspresikan perasaannya dengan seenaknya dan juga tidak mungkin
memenangkan persaingan melawan orang tuanya., maka ia belajar untuk menahan
diri. Disini tampak bahwa anak mulai belajar menyesuaikan diri. Perasaan
seksual yang negative ini kemudian menjadikan anak menjauhi orang tua yang
berjenis kelamin berbeda, dan ia mulai mendekat pada orang tua dengan jenis
kelamin sama. Pada saat iniilah dimulai proses identifikasi seksual. Ditandai
dengan pergaulan anak yang lebih suka bermain dengan teman yang jenis kelamin
sama.
d.
Fase laten
Biasanya terjadi pada anak
usia 7-12 tahun. Periode ini merupakan periode integrasi yang bercirikan
anak harus berhadapan dengan berbagai
macam tuntutan sosial seperti hubungan kelompok, pelajaran sekolah, konsep
moral dan etik, dan hubungan dengan
dunia dewasa.
e. Fase genital
Dengan selesainya fase
laten, maka sampailah anak pada fase terakhir dalam perkembangan, yaitu fase
genital. Dalam fase ini anak dihadapkan dengan masalah yang kompleks, dan ia
diharapkan mampu bereaksi sebagai orang dewasa. Kesulitan yang sering timbul
pada fase ini seringkali disebabkan oleh karena si anak belum dapat
menyelesaikan tahap perkembangannya dengan tuntas.
3.
Teori
Erik Erikson
Erikson berpendapat bahwa
pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan
oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian
atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan
kebudayaan.
Delapan tahap/fase
perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya
adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang
berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan
tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah
sebagai berikut:
a.
Trust
vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada
masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus
dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa
harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini
akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya
untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu,
serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada
tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan
perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil.
b. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu
Pada tahap kedua adalah
tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita
yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang
harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil
perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak
dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat
menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh
anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap
malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya
sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan
seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan
mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau
ketidaktergantungan.
c. Kerajinan vs Inferioritas
Tahap keempat adalah tahap
laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah
satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah dengan mengembangkan kemampuan
bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada
tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah
sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua
harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima
kehadirannya. Anak
pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah
itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat
mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses
karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat
mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru
sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia
seperti ini.
d. Identitas vs Kekacauan Identitas
Tahap kelima merupakan
tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada
usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda
merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut
Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap
ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas
pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke
tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada
dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam
lingkungannya.
Akan tetapi
disisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan
kekacauan
identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap
masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif
ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini
menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya,
jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka
Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang
memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau
masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang
merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang
mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam
kelompoknya.
e. Keintiman
vs Isolasi
Tahap pertama hingga tahap
kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya
yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini
menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha
menghindar dari sikap menyendiri. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan
dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang
lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila
seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi
dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi.
Oleh sebab itu,
kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna
memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta
berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan
lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak
hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua,
tetangga, sahabat.
f.
Generativitas vs Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah)
berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia
sekitar 30 sampai 60 tahun. Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan.
Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman
ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri
sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak
perduli terhadap ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan
otoritisme.
Generasional
ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan
antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya.
Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang
lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala
peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan
diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan
menyenangkanap siapapun.
g.
Integritas
vs Keputusasaan
Tahap
terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh
orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang
yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap
sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan
berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan.
Tahap
ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang
dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena
orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak
berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada
pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki
arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima
akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika
didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya
kecemasan akan terlihat.
Kecenderungan
terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat
menyebabkan maladaptif yang biasa
disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan
dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat
dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan
sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumaph serapah dan
menyesali kehidupan sendiri.
Oleh
karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin
dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan.
Daftar Pustaka
Rohman,
Arif. (2009). Memahami Pendidikan dan
Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang Mediatama Yogyakarta.
Santrok. (2007). Perkembangan Peserta Didik. Cetakan ke-16. Jakarta: Universitas
Terbuka.
terimakasih atas postingannya..
BalasHapus